Saat Pemerintah China mengkarantina Kota Wuhan pada tanggal 23 Januari dan menghentikan semua lawatan luar negeri, pengaruhnya langsung terasa di Thailand.
Pusat belanja dan kuil di Bangkok, Thailand tiba-tiba menjadi sangat sepi dan tidak ramai. Saat semakin banyak penerbangan dari China yang dibatalkan, bandara menjadi sepi.
Memang turis dari China banyak mendominasi kedatangan di berbagai destinasi di Thailand. Mereka terlihat di mana-mana, seperti di Grand Palace, maupun di Wat Pho yang merupakan destinasi wisata populer di negeri Gajah Putih tersebut.
Dengan tak hadirnya turis China, bagi pengusaha kecil ini merupakan kehancuran pariwisata dan merupakan sebuah bencana.
Para penjual bunga, penari tradisional dan sopir bus kecil Chiang Mai dilaporkan pemasukannya turun setengahnya dalam sebulan terakhir. Organisasi tidak resmi pemandu wisata Thailand memperkirakan 25.000 orang menganggur akibat tak adanya turis. Sangat menyedihkan ya.
Salah satu yang pertama kali mencatat keberhasilan lonjakan pariwisata Thailand yang telah berlangsung selama 60 tahun adalah pulau Phuket, yang dijuluki Mutiara Andaman karena pantai pasir putihnya dan laut hangatnya yang bersinar.
Wisatawan asing yang datang pada tahun 1980-an dan 1990-an kebanyakan adalah warga Eropa dan Australia. Namun jumlah turis China terus melonjak menjadi sekitar dua juta dari 15 juta wisatawan asing.
Hutan bakau di bagian timur pulau, berbeda dengan pantai yang menghadap ke barat, di mana perahu membawa wisatawan ke pulau-pulau lain.
Sama seperti sebagian besar penduduk Phuket, Nattakit Lorwitworrawat pindah ke kota tersebut dari tempat lain di Thailand untuk memulai bisnisnya.
Perusahaaannya sekarang memiliki 30 speed boat yang dapat membawa 30 penumpang. Namun ia harus menarik 20 perahu ke darat, sementara 10 boat sisanya jarang mendapatkan sewaan.
Teluk kecil yang biasanya ramai suara motor, sekarang sunyi. Yang terdengar hanyalah suara burung dan ombak yang memecah kesunyian.
"Pada puncaknya dua tahun lalu kami membawa 1.000 penumpang setiap harinya. Sekarang jika kami memperoleh 200 orang, itu sudah bisa dipandang sebagai sangat baik, dan kami sudah gembira," kata Nattakit.
Dia meminjam dana bank untuk memelihara perahunya. Jika krisis terus berlanjut sampai setelah akhir tahun ini, Nattakit harus memperkecil perusahaan dan mulai memberhentikan staf-nya.
Bagi penduduk yang lebih rendah strata ekonominya, keadaannya lebih buruk lagi.
Somkiat Prasarn harus menyicil pembelian rumah kecilnya, disamping pinjaman kendaraan yang dipakainya untuk membawa wisatawan China agar dapat mengunjungi berbagai tempat di pulau itu. Dia harus menafkahi empat anak dan seorang ibu yang sudah manula. Cicilan bulanannya sekitar Rp22 juta.
Prasarn mengaku tak mampu bertahan selama enam bulan lagi. "Tidak bisa, Pak," katanya. Sekarang dia tidak mendapatkan penumpang kecuali orang-orang dari bandara.