MAKAM itu tampak agung di bawah sebuah bangunan yang dikelilingi pagar besi sepinggang orang dewasa, terlindung sebatang pohon rindang yang tumbuh ratusan tahun lalu. Pada sudut luarnya diapit dua meriam kuno. Di depannya terdapat prasasti bertulis Makam Sultan Iskandar Muda.
Sosok pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam periode 1607-1636 Masehi ini dikenal sebagai raja agung. Nama besar Iskandar Muda yang melegenda, menyedot para wisatawan berziarah ke makam yang berada di kompleks makam raja-raja Aceh di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah, Banda Aceh, persis di sebelah Meuligo (Pendopo) Gubernur Aceh.
“Makam ini menjadi salah satu situs wisata sejarah dan religi di Banda Aceh, sejarah besar Sultan Iskandar Muda menjadi daya tarik bagi wisatawan,” kata seorang tokoh pemuda di Banda Aceh dan penyuka sejarah Aceh, Hasnanda Putra.
Mujiburrijal, agen perjalanan wisata di Aceh menyebutkan, selain turis lokal, makam ini juga sering diziarahi pelancong Malaysia dan negara lain.
Baca juga: 5 Destinasi Wisata Religi di Banda Aceh
Karena memiliki nilai religi, agenda berkunjung ke Makam Sultan Iskandar Muda dimasukkan dalam paket wisata Ramadhan di Aceh yang dijual ke wisatawan selama puasa.
“Salah satu study tour-nya mengunjungi makam Sultan Iskandar Muda,” sebut Mujib yang juga Duta Museum Aceh.
Makam Iskandar Muda keseluruhannya telah dibeton, berukir bunga-bunga dan kaligrafi indah ini di sekelilingnya. Dua nisan bergaya kuno tertancap di atasnya, menyirat kemegahan sang raja. Pekarangan komplek makam ini asri dengan bunga-bunga.
Baca juga: Sultan Aceh Muhammad Daud Syah, Pahlawan Terlupakan
Dalam komplek Makam Sultan Iskandar Muda, banyak terdapat situs cagar budaya dan peninggalan sejarah seperti gedung pemerintahan Hindia Belanda yang kini dikenal sebagai Gedung Perjuangan, alutista peninggalan kolonial serta makam raja-raja Aceh dan keluarganya.
Profil singkat Iskandar Muda tertulis di prasasti dan papan informasi yang ada di situ.
Profil Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda mangkat pada 27 Desember 1636 dalam usia 43 tahun. Jenazahnya dikubur di area Darul Dunya, kompleks Istana Kesultanan Aceh Darussalam. Saat Belanda menginvansi Aceh, jejak makam ini sempat dihilangkan kolonial untuk melenyapkan sejarah kegemilangan Aceh masa lalu.
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh (Okezone.com/Windy Phagta)
Jejak makamnya ditemukan kembali pada 19 Desember 1952 oleh Pocut Meurah, permaisuri Raja Aceh terakhir Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, yang saat itu sudah berusia seabad.
Menurut sejarah, Sultan Iskandar Muda lahir tahun 1593. Ibunya Putri Raja Indra Bangsa alias Paduka Syah Alam, anak Sultan Alaudin Riyat Syah, pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam ke 10. Dari pihak ayahnya, ia disebut keturunan Dinasti Mahkota Alam.
Nama kecilnya Perkasa Alam. Versi lain menyebut nama aslinya Raja Zainal yang digelari Dhama Wangsa. Baru saat memasuki akil balik dia dijuluki Perkasa Alam, sering juga dipanggil Johan Syah.
Dia diberi gelar Sultan Iskandar Muda saat naik tahta menggantikan Sultan Ali Riyat Syah (1604-1607) yang telah mangkat. Ditangannyalah Kesultanan Aceh mencapai puncak kegemilangan.
Wilayah kekuasaannya mencakup dunia Melayu, mulai dari Aceh, sebagian Sumatera hingga semenanjung Malaka (sekarang Malaysia).
Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) sebagai Ibu Kota Kerajaan Aceh menjadi pusat perdagangan bebas yang paling sering disinggahi kapal-kapal niaga dari berbagai negara untuk bertransaksi berbagai komoditas.
Selat Malaka menjadi lalu lintas pelayaran sdengan ibuk kapal-kapal pengangkut hasil bumi dari Asia ke Eropa.
Sejarah mencatat, Iskandar Muda orang paling berpengaruh dan berperan penting dalam menjaga stabilitas perekonomian kawasan itu.
Karena menjanjikan secara politik ekonomi, Portugis terus mengincar Selat Malaka sehingga sering bentrok dengan militer Aceh yang mati-matian mempertahankannya dari kekuasaan asing.
Baca juga: Masjid Baiturrahman, Destinasi Religi Favorit di Ujung Sumatera
Menurut riwayat dalam kurun 1573 hingga 1627, pasukan Aceh di bawah kendali Iskandar Muda sedikitnya 16 kali terlibat perang dengan Portugis.
Aceh sulit ditaklukkan karena memiliki alutsista mumpuni kala itu, salah satunya kapal induk Cakra Donya. Portugis menjuliki kapal perang Cakra Donya sebagai Espanto del Mundo alias Teror Dunia.
Kapal ini dikisahkan memiliki 100 meriam dan tergantung tiga lonceng raksasa sebagai alat penabuh perang, salah satunya lonceng buatan tahun 1409, hadiah dari Kaisar China kepada Kerajaan Samudera Pasai yang diantar langsung oleh Laksama Cheng Ho ke Aceh tahun 1414 sebagai simbol persahabatan dua negara.