SIANG itu, matahari begitu menyengat. Suasana Kampung Hambur Batu, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur sepi, hanya truk pengangkut kelapa sawit sesekali melintas di jalan. Deru mesinnya memecah kesunyian. Setelahnya hening lagi.
Kampung Hambur Batu bukan permukiman padat. Sejauh mata memandang hanya terlihat beberapa rumah dipisahkan rumput ilalang yang tinggi.
Baca juga: Promosikan Wisata Sangkulirang, Kaltim Bidik Turis Mancanegara
Tiba-tiba, dari kejauhan, seorang pria berpakaian hitam lengan panjang memanggil kami untuk segera berkumpul. Suaranya terdengar nyaring. Kami bergegas berkumpul, mendengar arahannya.
Pria itu Pindi Setiawan, peneliti sekaligus dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia dikenal baik oleh warga Kampung Hambur Batu. Mereka menyapanya "Pak Pendi."
Sebelum menyusuri Sungai Jelai-Bengalon, tim mendengar arahan (Okezone.com/Dimas)
Jumat 20 November 2020, Okezone bersama rombongan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berkesempatan mengunjungi Situs Cagar Budaya Goa Tewet. Goa yang berada di Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat itu menyimpan jejak pra sejarah yang dikonfirmasi sudah berusia 40 ribu tahun.
Kawasan inilah yang tengah digodok Kemenparekraf untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata minat khusus berbasis alam.
Untuk mencapai ke sana, kami harus melewati medan yang cukup menantang. Dimulai dari menyusuri Sungai Jelai-Bengalon berjarak kurang lebih 35 Km.
Baca juga: Sangkulirang, Destinasi Wisata di Kaltim Pas untuk Liburan Masa Corona
Sebelum melepas rombongan, Pindi menjelaskan beberapa hal penting yang harus dihibdari demi menjaga kenyamanan dan memperlancar perjalanan. Termasuk informasi-informasi menarik seputar budaya dan kearifan lokal. Salah satunya tentang sosok 'Nenek' atau buaya yang bermukim di Sungai Jelai-Bengalon.
"Tolong hormati 'nenek' bagaimanapun juga sungai ini adalah rumah mereka. Umurnya bahkan lebih tua dari komodo. Mereka suka berjemur di siang hari, tetapi tidak bisa membedakan manusia dan binatang. Jadi tetap waspada," tegas Pindi.
Bersiap menyusuri Sungai Jelai-Bengalon (Okezone.com/Dimas)
Tepat pukul 15.00 WITA, perjalanan kami pun dimulai. Satu per satu rombongan dipersilakan menaiki perahu kayu yang mampu menampung sekira 4-6 orang. Warga lokal menyebutnya dengan istilah Ketinting.
Perahu melesat dengan cepat. Nuansa petualangan langsung menyeruak. Cipratan air Sungai Jelai-Bengalon berwarna kecoklatan, tak terasa mulai membasahi sekujur tubuh. Degup jantung pun semakin berdetak kencang ketika perahu menghantam derasnya aliran sungai.
Lebatnya hutan hujan tropis khas Kalimantan menjadi pemandangan menakjubkan sepanjang perjalanan. Suara satwa liar yang bersahutan di balik rimba terdengar begitu merdu, seolah menyambut kedatangan kami.
Pak Ian yang kala itu menjadi pengemudi perahu kami juga sangat cekatan saat perahu melewati tikungan-tikungan tajam. Sesekali ia menghentikan laju perahu, memberikan waktu kepada kami untuk menikmati lukisan alam yang begitu meneduhkan hati.
Ada perasaan membuncah ketika gugusan tebing-tebing karst mulai mengintip dari balik rindangnya pepohonan. Hari itu, dewi fortuna sepertinya sedang berpihak kepada kami.