KOTA Solo, Jawa Tengah punya sederet peninggalan sejarah Kerajaan Pajang hingga Kesultanan Surakarta. Warisan budaya tersebut menjadi salah satu daya tarik wisata. Misalnya Keraton Surakarta Hadiningrat, istana resmi Kesunanan Surakarta.
Bila ditelisik ke belakang, Kota Surakarta memiliki sejarah yang melekat dengan keberadaan Kampung Laweyan.
Baca juga: Wamenparekraf Angela Tanoesoedibjo Dorong Solo Jadi Pilot Project Wisata Kebugaran Indonesia
Pada kehidupan masyarakat Jawa zaman itu, Kampung Laweyan merupakan tempat bagi para pengusaha dan saudagar yang keberadaannya berseberangan dengan kaum ningrat Keraton Kartasura.
Dan yang menarik, kampung itu sudah ada sejak tahun 1540-an pada masa Kerajaan Pajang.
Mengutip dari unggahan Instagram @kanjengnuky, Kampung Laweyan saat itu menjadi tempat bandar utama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Nagari Pajang, baik legal maupun ilegal.
Instagram @kanjengnuky
“Salah satu yang ilegal waktu itu adalah opium atau yang disebut candu atau Jawa menyebut apyun apabila msh mentah,sedangkan ketika matang disebut dengan candu atau madat,” tulis Kanjeng Nuky, pencinta sejarah dan budaya dalam unggahannya yang disertai foto dan video lorong rahasia bawah tanah bersejarah di Solo.
Pada masa Amangkurat II, kegiatan impor candu mulai diperbolehkan dan memonopoli candu di daerahnya yang merupakan hadiah-hadiah pemberian VOC.
Baca juga: Gaet Wisatawan, Solo Tampilkan Atraksi Prajurit Keraton Mirip di Istana Buckingham Tiap Sabtu
Dan kemudian pada tahun 1677 candu menjadi sumber bisnis bagi kehidupan masyarakat Jawa saat itu. Candu juga menjadi bagian yang dikonsumsi oleh mereka.
Orang-orang pada masa itu mengirimkan candu melalui lorong-lorong bawah tanah dari rumah mereka yang menembus ke sungai. Jalur masuk candu itu terhubung dengan perahu-perahu di bandar Laweyan.
“Salah satu jalur masuk opium itu melewati droping oleh perahu-perahu jung di bandar Laweyan dan memasuki lorong-lorong yang menghubungkan rumah-rumah di Laweyan. Adapun di Surakarta sendiri ada rumah-rumah candu yang berada di bangunan yang sekarang menjadi masjid Merdeka Laweyan ( slide 9) dan kemudian di Totogan utara Mangkunegaran (slide 10),” tulis Kanjeng Nuky.