Share

Kenapa Medan Disebut Kota Ketua? Begini Asal-usulnya

Sri Latifah Nasution, Jurnalis · Sabtu 04 Februari 2023 00:02 WIB
https: img.okezone.com content 2023 02 02 406 2758041 kenapa-medan-disebut-kota-ketua-begini-asal-usulnya-yLAtLwSWjl.jpg Masjid Raya Al-Mashun di Kota Medan, Sumatera Utara. (Foto: Okezone.com/Rizky Pradita Ananda)

BAGI yang sedang berkunjung ke Kota Medan dan mendengar penduduk lokal menyapa Anda dengan ketua, Anda tidak perlu bingung. Masyarakat Ibu Kota Sumatera Utara memang sudah terbiasa menggunakan kata tersebut sebagai sapaan, bahkan pada orang yang belum dikenal sekalipun.

Saking seringnya diucapkan, Medan akhirnya mendapat julukan sebagai ‘Kota Ketua’. Bagaimana sebenarnya asal-usul julukan ini ditabalkan pada Medan?

Sebelum tenar dengan julukan Kota Ketua, Medan dikenal sebagai kota saudagar dan perdagangan. Wajar saja karena sejak abad ke-11, Medan sudah menjadi pusat perdagangan.

Hal itu dibuktikan dengan temuan koin kuno dari berbagai negara, yang kini disimpan di Museum Situs Cotta Cinna di Marelan.

Koin-koin tersebut diantaranya Cola (India Selatan), koin Sinhala (Sri Lanka), dan koin China dari berbagai dinasti.

Sementara, sebutan Kota Ketua mulai populer sejak tahun 2000-an.

Kala itu, kata ketua merupakan sapaan eksklusif kelompok-kelompok organisasi kemasyarakatan (ormas) Medan. Diduga, kata ketua berasal dari pimpinan ormas yang berpengaruh di Medan dan berbekas hingga sekarang.

Seiring waktu, sapaan tersebut mulai akrab di telinga masyarakat dan semakin sering dipakai. Frasa ketua ini berkembang mengalahkan sapaan khas Medan lain yang sempat terkenal, seperti bung, coy, lae, dan eda.

Akhirnya sapaan ketua melekat pada penduduk Medan, tanpa memandang status sosial.

Beberapa mengatakan sapaan ini memiliki makna persahabatan, keakraban, kehangatan, dan penghormatan.

Follow Berita Okezone di Google News

Ada juga yang berpendapat bahwa frasa tersebut sedikit banyak identik dengan kebiasaan masyarakat Medan, yang kerap acuh terhadap peraturan lintas.

Di beberapa bagian kota, para pengendara motor yang menerobos lampu merah sudah biasa. Begitu pun dengan sopir angkot yang kadang berhenti mendadak di tengah jalan.

Namun, pemaknaan frasa tersebut tidak bisa disamaratakan di setiap wilayah Medan, karena punya konotasi yang berbeda-beda.

Ilustrasi

Medan hakikatnya tidaklah sekacau itu. Pada periode awal kemerdekaan, di mana banyak daerah masih meraba-raba sistem Pancasila yang egaliter, Medan sudah tampil sebagai kota yang identik dengan rasa egaliter tersebut.

Karakter egaliter inilah yang memunculkan sapaan khas, seperti bung, coy, lae, dan eda tadi.

1
2
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini